Makna dan etika maulud Nabi SAW.

Rabu, 11 Februari 2015

Makna dan etika maulud Nabi SAW.

                  Nabi Muhammad SAW adalah nabi Umat Islam di seluruh dunia. Beliau
adalah Nabi akhir zaman. Penutup para Nabi. Khotamun Nabiyyin. Tidak
akan ada nabi yang akan diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalahNya
setelah Nabi Muhammad. Jabir pernah bertanya kepada Nabi Muhammad, ” Ya
Rosulallah, Demi Ayah dan Ibuku, sampaikan pada saya tentang sesuatu
yang pertama kali diciptakan oleh Allah SWT sebelum menciptkan yang
lain”. Nabi Menjawab, wahai Jabir, sesungguhnya Allah menciptkan Nur
Nabimu Muhammad SAW sebelum menciptakan segala sesuatu di alam semesta
ini. Dan segala sesuatu di alam semesta ini adalah dari cahaya Nabi
Muhammad SAW. Dan Nabi pernah bersabda, saya adalah Nabi yang diciptakan
pertama kali dan diutus paling akhir.

Pada tanggal 12 Robiul
Awwal 1423 H tepatnya hari ini tanggal 15 Februari 2011 kita
memperingati hari kelahiran beliau. Nabi Muhammad lahir di kota Mekkah
dan wafat di kota Madinah. Beliau lahir dengan penuh
keajaiban-keajaiban. Di antara yang saya ketahui ketika lahirnya Nabi
Muhammad seluruh pepohonan yang tidak pernah berbuah waktu itu langsung
berbuah, api yang tak pernah padam dan menjadi sesembahan warga Majusi,
ketika lahir nabi apa itu langsung padam. Ketika beliau lahir langsung
sujud kepada Allah SWT. Ada lagi ketika beliau lahir sang ibu tak
merasakan sakit sedikitpun. Tidak ada darah bercecer bekas melahirkan.

.Makna peringatan maulud Nabi Saw.
Peringatan
maulid adalah upaya mengenang hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tentu
saja tidak hanya mengingat hari lahir beliau. Tapi juga mengingat
jasa-jasa beliau yang telah menyebarkan agama Islam ke seluruh dunia
termasuk kepada kita. Ingat juga pada sifat-sifatnya yang luhur budi,
penyabar, rendah hati dan lain – lain. Sikapnya yang tegas menyebarkan
dakwah Islam patut kita teladani. Makna peringatan maulid adalah
menyegarkan kembali ingatan kita akan ajaran Nabi dan kita harus siap
untuk melaksanakannya.

Memperingati hari lahir tidak boleh hanya
sebagai kegiatan ritual semata. Tapi harus diaplikasikan atau diwujudkan
dalam aktivitas nyata kita di kehidupan sehari-hari. Jika ada yang
memperingati maulid dengan menyediakan makanan dan buah-buahan itu oke –
oke saja dan tentu saja halal. Yang paling penting adalah niatnya.
Karena segala sesuatu itu tergantung pada niat kita. Menyiapkan makanan
dan buah-buahan untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW tentu
sangat baik. Niatnya tentu saja adalah untuk memperbanyak sedekah kepada
orang yang kita undang untuk peringatan maulid. Jika kita mampu mengapa
kita tidak ajak orang berkumpul sambil membaca shalawat setelah itu
menghidangkan makanan ala kadarnya sesuai dengan kemampuan.

Etika perayaan nabi muhammad Saw
Raja
Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kaukabri ibn Zainuddin Ali bin Baktakin(l. 549
H. w.630 H.), menurut Imam Al-Suyuthi tercatat sebagai raja pertama yang
memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW ini dengan perayaan yang
meriah luar biasa. Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan
dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid ini.

Imam
Al-Hafidz Ibnu Wajih menyusun kitab maulid yang berjudul “Al-Tanwir fi
Maulidi al-Basyir al-Nadzir”. Konon kitab ini adalah kitab maulid
pertama yang disusun oleh ulama.

Di negeri kita tercinta ini,
meskipun tidak dapat disebut sebagai Negara Islam, banyak masyarakat
yang merayakannya dan telah menjadi tradisi mereka. Pemerintah pun telah
menjadikan peringatan ini salah satu agenda rutin dan acara kenegaraan
tahunan yang dihadiri oleh pejabat tinggi negara serta para duta besar
negara-negara sahabat berpenduduk Islam. Hari peringatan maulid Nabi
tekah telah disamakan dengan hari-hari besar keagamaan lainnya.

Pendapat Ulama dan Silang pendapat mengenai perayaan Maulid Nabi

Hukum
perayaan maulid telah menjadi topik perdebatan para ulama sejak lama
dalam sejarah Islam, yaitu antara kalangan yang memperbolehkan dan yang
melarangnya karena dianggap bid'ah. Hingga saat ini pun masalah hukum
maulid, masih menjadi topik hangat yang diperdebatkan kalangan muslim.
Yang ironis, di beberapa lapisan masyarakat muslim saat ini permasalahan
peringatan maulid sering dijadikan tema untuk berbeda pendapat yang
kurang sehat, dijadikan topik untuk saling menghujat, saling menuduh
sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang tragis, masalah peringatan maulid
nabi ini juga menimbulkan kekerasan sektarianisme antar pemeluk Islam
di beberapa tempat. Seperti yang terjadi di salah satu kota Pakistan
tahun 2006 lalu, peringatan maulid berakhir dengan banjir darah karena
dipasang bom oleh kalangan yang tidak menyukai maulid.


Untuk
lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini, ada baiknya kita
telaah sejarah pemikiran Islam tentang peringatan maulid ini dari
pendapat para ulama terdahulu. Tentu saja tulisan ini tidak memuat semua
pendapat ulama Islam, tetapi cukup ulama dominan yang dapat dijadikan
rujukan untuk membuat sebuah peta pemikiran.


Pendapat Ibnu Taymiyah:


Ibnu
Taymiyah dalam kitab Iqtidla'-us-Syirat al-Mustqim (2/83-85)
mengatakan: "Rasululullah s.a.w. telah melakukan kejadian-kejadian
penting dalam sejarah beliau, seperti khutbah-khutbah dan
perjanjian-perjanjian beliau pada hari Badar, Hunain, Khandaq, pembukaan
Makkah, Hijrah, Masuk Madinah. Tidak seharusnya hari-hari itu dijadikan
hari raya, karena yang melakukan seperti itu adalah umat Nasrani atau
Yahudi yang menjadikan semua kejadian Isa hari raya. Hari raya merupakan
bagian dari syariat, apa yang disyariatkan itulah yang diikuti, kalau
tidak maka telah membuat sesuatu yang baru dalam agama. Maka apa yang
dilakukan orang memperingati maulid, antara mengikuti tradisi Nasrani
yang memperingati kelahiran Isa, atau karena cinta Rasulullah. Allah
mungkin akan memberi pahala atas kecintaan dan ijtihad itu, tapi tidak
atas bid'ah dengan menjadikan maulid nabi sebagai hari raya. Orang-orang
salaf tidak melakukan itu padahal mereka lebih mencintai rasul".

Namun
dalam bagian lain di kitab tersebut, Ibnu Taymiyah
menambahkan:"Merayakan maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin
dalam setahun yang telah dilakukan oleh orang-orang, akan mendapatkan
pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SA.
Seperti yang telah saya jelaskan, terkadang sesuatu itu baik bagi satu
kalangan orang, padahal itu dianggap kurang baik oleh kalangan mu'min
yang ketat. Suatu hari pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang
tindakan salah seorang pejabat yang menyedekahkan uang 100 dinar untuk
membuat mushaf Qur'an, beliau menjawab:"Biarkan saja, itu cara terbaik
bagi dia untuk menyedekahkan emasnya". Padahal madzhab Imam Ahmad
mengatakan bahwa menghiasi Qur'an hukumnya makruh. Tujuan Imam Ahmad
adalah bahwa pekerjaan itu ada maslahah dan ada mafsadahnya pula, maka
dimakruhkan, akan tetapi apabila tidak diperbolehkan, mereka itu akan
membelanjakan uanngnya untuk kerusakan, seperti membeli buku porno dsb.

Pahamilah
dengan cerdas hakekat agama, lihatlah kemaslahatan dalam setiap
pekerjaan dan kerusakannya, sehingga kamu mengetahui tingkat kebaikan
dan keburukan, sehingga pada saat terdesak kamu bisa memilih mana yang
terpenting, inilah hakekat ilmu yang diajarkan Rasulullah. Membedakan
jenis kebaikan, jenis keburukan dan jenis dalil itu lebih mudah.
Sedangkan mengetahui tingkat kebaikan, tingkat keburukan dan tingkat
dalil itu pekerjaan para ulama.

Selanjutnya Ibnu Taymiyah menjelaskan tingkat amal solih itu ada tiga.

Pertama
Amal sholeh yang masyru' (diajarkan) dan didalamnya tidak ada kemaruhan
sedikitpun. Inilah sunnah murni dan hakiki yang wajib dipelajari dan
diajarkan dan inilah amalan orang solih terdahulu dari zaman muhajirin
dan anshor dan pengikutnya.

Kedua:
Amal solih dari satu sisi, atau sebagian besar sisinya berisi amal
solih seperti tujuannya misalnya, atau mungkin amal itu mengandung
pekerjaan baik. Amalan-amalan ini banyak sekali ditemukan pada
orang-orang yang mengaku golongan agama dan ibadah dan dari orang-orang
awam juga. Mereka itu lebih baik dari orang yang sama sekali tidak
melakukan amal solih, lebih baik juga daripada orang yang tidak beramal
sama sekali dan lebih baik dari orang yang amalannya dosa seperti kafir,
dusta, hianat, dan bodoh. Orang yang beribadah dengan ibadah yang
mengandung larangan seperti berpuasa lebih sehari tanpa buka (wisal),
meninggalkan kenikmatan tertentu (mubah yang tidak dilarang), atau
menghidupkan malam tertentu yang tidak perlu dikhususkan seperti malam
pertama bulan Rajab, terkadang mereka itu lebih baik dari pada orang
pengangguran yang malas beribadah dan melakukan ketaatan agama. Bahkan
banyak orang yang membenci amalan-amalan seperti ini, ternyata mereka
itu pelit dalam melakukan ibadah, dalam mengamalkan ilmu, beramal solih,
tidak menyukai amalan dan tidak simpatik kepadanya, tetapi tidak juga
mengantarkannya kepada kebaikan, misalnya menggunakan kemampuannya untuk
kebaikan. Mereka ini tingkah lakunya meninggalkan hal yang masyru'
(dianjurkan agama) dan yang tidak masyru' (yang tidak dianjurkan agama),
akan tetapi perkatannya menentang yang tidak masyru' (yang tidak
diajarkan agama).

Ketiga: Amalan
yang sama sekali tidak mengandung kebaikan, karena meninggalkan
kebaikan atau mengandung hal yang dilarang agama. (ini hukumnya jelas).

Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: "Bid'ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid Rasulullah".

Pendapat
Abu Shamah (guru Imam Nawawi):"Termasuk yang hal baru yang baik
dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan
pada hari kelahiran Rasulullah s.a.w. dengan memberikan sedekah dan
kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua
berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah
dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur
kepada Allah atas diutusnya Rasulullah s.a.w. kepada seluruh alam
semesta".

Al-Hafidz al-Iraqi dalam kitab
Syarh Mawahib Ladunniyah mengatakan:"Melakukan perayaan, memberi makan
orang disunnahkan tiap waktu, apalagi kalau itu disertai dengan rasa
gembira dan senang dengan kahadiran Rasulullah s.a.w. pada hari dan
bulan itu. Tidaklah sesuatu yang bid'ah selalu makruh dan dilarang,
banyak sekali bid'ah yang disunnahkan dan bahkan diwajibkan".

Imam
Suyuti berkata: "Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu
manusia berkumpul, membaca al-Qur'an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW
sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan
makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu
yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid'ah hasanah. Orang
yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW,
menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad SAW
yang mulia".[2]

Syeh Azhar Husnain Muhammad Makhluf
mengatakan:"Menghidupkan malam maulid nabi dan malam-malam bulan Rabiul
Awal ini adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah, memperbanyak
syukur dengan nikmat-nikmat yang diturunkan termasuk nikmat
dilahirkannya Rasulullah s.a.w. di alam dunia ini. Memperingatinya
sebaiknya dengan cara yang santun dan khusu' dan menjauhi hal-hal yang
dilarang agama seperti amalan-amalan bid'ah dan kemungkaran. Dan
termasuk cara bersyukur adalah menyantuni orang-orang susah, menjalin
silaturrahmi. Cara itu meskipun tidak dilakukan pada zaman Rasulullah
s.a.w. dan tidak juga pada masa salaf terdahulu namun baik untuk
dilakukan termasuk sunnah hasanah".

Seorang ulama Turkmenistan
Mubasshir al-Thirazi mengatakan:"Mengadakan perayaan maulid nabi
Muhammad s.a.w. saat ini bisa jadi merupakan kewajiban yang harus kita
laksanakan, untuk mengkonter perayaan-perayaan kotor yang sekarang ini
sangat banyak kita temukan di masyarakat"

Dalil-dalil yang memperbolehkan melakukan perayaan Maulid Nabi s.a.w.


1. Anjuran bergembira atas rahmat dan karunia Allah kepada kita. Allah SWT berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah:
"Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa
yang mereka kumpulkan. QS.Yunus:58.



2. Rasulullah SAW sendiri mensyukuri atas kelahirannya. Dalam sebuah Hadits dinyatakan:


عَنْ
أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ
فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم


"Dari
Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya
mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku
dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku". (H.R. Muslim, Abud Dawud,
Tirmidzi, Nasa'I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu
Abi Syaibah dan Baghawi).

3. Diriwayatkan dari Imam Bukhori bahwa
Abu Lahab setiap hari senin diringankan siksanya dengan sebab
memerdekakan budak Tsuwaybah sebagai ungkapan kegembiraannya atas
kelahiran Rasulullah SAW. Jika Abu Lahab yang non-muslim dan al-Qur'an
jelas mencelanya, diringankan siksanya lantaran ungkapan kegembiraan
atas kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan orang yang beragama
Islam yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW.


Kesimpulan Hukum Maulid

Melihat
dari pendapat-pendapat ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendapat-pendapat ulama terdahulu seputar peringatan maulid adalah
sebagai berikut:


1. Malarang maulid karena itu termasuk bid'ah dan tidak pernah dilakukan pada zaman ulama solih pertama Islam.

2.
Memperbolehkan perayaan maulid Nabi, dengan syarat diisi dengan
amalan-amalan yang baik, bermanfaat dan berguna bagi masyarakat. Ini
merupakan ekspresi syukur terhadap karunia Allah yang paling besar,
yaitu kelahiran Nabi Muhammad dan ekspresi kecintaan kepada beliau.

3.
Menganjurkan maulid, karena itu merupakan tradisi baik yang telah
dilakukan sebagian ulama terdahulu dan untuk mengkonter
perayaan-perayaan lain yang tidak Islami.


Jadi masalah maulid
ini seperti beberapa masalah agama lainnya, merupakan masalah
khilafiyah, yang diperdebatkan hukumnya oleh para ulama sejak dulu.
Sebaiknya umat Islam melihatnya dengan sikap toleransi dan saling
menghargi mengenai perbedaan pendapat ini. Tidak selayaknya mengklaim
paling benar dan tidak selayaknya menuduh salah lainnya.


Bahkan
kalau dicermati, sebenarnya pendapat yang melarang dan yang
memperbolehkan perayaan maulid tujuannya adalah sama, yaitu sama-sama
membela kecintaan mereka kepada Rasulullah s.a.w. Maka sangat
disayangkan kalau umat Islam yang sama-sama dengan dalih mencintai
Rasulullah s.a.w. tetapi saling hujat dan bahkan saling mealih mencintai
Rasulullah s.a.w. tetapi saling hujat dan bahkan saling menyakiti.
https://aguezt123.blogspot.com/2015/02/makna-dan-etika-maulud-nabi-saw.html

PENGERTIAN DAN SEJARAH MAULID NABI MUHAMMAD SAW

maulid8.gif

Pengertian Maulid
Maulid secara bahasa berarti tempat atau waktu dilahirkannya seseorang [Boleh juga dikatakan maulid adalah mashdar (asal kata) bermakna kelahiran (al-wiladah). Ini disebut mashdar mim. [ed]]. Oleh karena itu, tempat maulid Nabi Shallallahu’alaihi wasallam adalah Makkah. Sedangkan waktu maulid beliau adalah pada hari Senin bulan Rabi’ul Awwal pada tahun Gajah tahun 53 SH (Sebelum Hijriah) yang bertepatan dengan bulan April tahun 571 M.
Adapun tanggal kelahiran beliau, maka para ulama berselisih dalam penentuannya. Dan cukuplah hal ini menjadi tanda dan bukti nyata yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, para sahabat beliau, dan para ulama setelah mereka, tidaklah menaruh perhatian besar dalam masalah hari maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Karena seandainya hari maulid beliau adalah perkara yang penting, memiliki keutamaan yang besar, dan memiliki arti yang mendalam dalam Islam, maka pasti akan ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam hadits-hadits beliau, sebagai konsekuensi dari kesempurnaan Islam dan semangat beliau dalam menunjukkan kebaikan kepada ummatnya. Juga pasti akan dinukil dari para sahabat tentang tanggal kelahiran beliau sebagai konsekuensi sikap amanah mereka dalam menyampaikan ilmu.
Jadi, perbedaan pendapat para ulama tentang kapan tanggal maulid beliau menunjukkan bahwa tidak ada keterangan yang jelas dari Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan tidak pula dari para sahabat beliau Radhiallahu‘anhum tentang masalah ini.
Perselisihan Pendapat Tentang Maulid (Hari Lahir) Nabi
Ada beberapa pendapat dalam masalah ini, tapi yang paling masyhurnya adalah:
1. Maulid Nabi adalah tanggal 8 Rabi‘ul Awwal.
Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syaikh Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab sebagaimana yang akan datang, dan juga yang zhahirnya dikuatkan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah dalam kitab beliau Shahih As-Sirah An-Nabawiah hal. 13. Beliau berkata dalam ta’liq (catatan kaki), “Adapun waktu hari kelahiran beliau, telah disebutkan tentangnya dan tentang bulannya oleh beberapa pendapat. Hal ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab asal [Yakni kitab Sirah Rasulullahi Shallallahu‘alaihi wasallam wa Dzikru Ayamihi wa Ghozawatihi wa Saroyahu wal Wufud Ilaihi karya Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullahu], dan semuanya mu’allaq, tanpa ada sanad yang bisa diperiksa dan diukur dengan ukuran ilmu mustholah hadits, kecuali pendapat yang mengatakan bahwa hal itu (hari kelahiran Nabi -pent.) pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal. Karena (tanggal 8 ini telah diriwayatkan oleh Malik dan selainnya dengan sanad yang shahih dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dan beliau adalah seorang tabi’in yang mulia. Dan mungkin karena inilah, pendapat ini dikuatkan oleh para pakar sejarah dan mereka berpegang padanya, dan (pendapat) ini yang dipastikan oleh Al-Hafizh Al-Kabir Muhammad bin Musa Al-Khowarizmy dan juga dikuatkan oleh Abul Khoththob bin Dihyah …”.
2. Maulid Nabi tanggal 9 Rabi‘ul Awwal.
Pengarang Nurul ‘Ainain fii Sirah Sayyidil Mursalin berkata, hal. 6, “Almarhum Mahmud Basya seorang pakar ilmu Falak menguatkan bahwa hal itu (hari kelahiran Nabi) adalah pada Subuh hari Senin, tanggal 9 Rabi’ul Awwal yang bertepatan dengan tanggal 20 April tahun 571 Miladiyah dan juga bertepatan dengan tahun pertama dari peristiwa Gajah”.
Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury Hafizhahullah berkata dalam kitab beliau Ar-Rohiqul Makhtum [Kitab beliau ini meraih peringkat pertama dalam perlombaan mengarang Sirah Nabawiah yang diadakan oleh Rabithah Al-‘Alam Al-Islamy pada tahun 1399 H], hal. 54, “Pimpinan para Rasul dilahirkan di lingkungan Bani Hasyim di Mekah pada subuh hari Senin tanggal 9 bulan Rabi’ul Awwal tahun pertama dari peristiwa perang Gajah dan bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan April tahun 571 M”.
Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid dan Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin Rahimahumallah.
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid Rahimahullahu berkata ketika menyebutkan tentang Abu Sa’id Al-Kaukabury [Dia adalah orang yang pertama kali merayakan maulid di negeri Maushil sebagaimana yang akan datang penjelasannya], “Dia mengadakan perayaan tersebut pada malam kesembilan (Rabi’ul Awal) menurut yang dikuatkan oleh para ahli hadits [Ucapan ini jangan dipahami bahwa ahlul hadits menguatkan bolehnya maulid, tapi maknanya bahwa ahlul hadits menguatkan bahwa hari kelahiran beliau pada tanggal 9.[ed]] bahwa beliau Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dilahirkan pada malam itu (kesembilan) dan beliau wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awal menurut kebanyakan ulama” [Lihat kitab beliau Ar-Rasa`ilul Hisan fii Fadha`ihil Ikhwan hal. 49].
Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin Rahimahullahu berkata setelah menyebutkan konsekuensi kecintaan kepada Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, “Maka ketika itu, jika bulan ini (Rabi’ul Awwal) adalah bulan diutusnya Rasul Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, demikian juga dia adalah bulan dilahirkannya Rasul Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berdasarkan pendapat yang dinyatakan oleh para pakar sejarah. Hanya saja, tidak diketahui malam keberapa beliau dilahirkan. Pendapat yang paling bagus adalah yang menyatakan bahwa beliau dilahirkan pada malam ke 9 dari bulan ini (Rabi’ul Awwal) bukan malam ke 12. Berbeda halnya dengan pendapat yang terkenal di sisi kebanyakan kaum muslimin saat ini. Karena ini (yakni lahirnya beliau pada tanggal 12) tidaklah memiliki landasan yang benar dari sisi sejarah. Berdasarkan perhitungan para ahli falak belakangan, kelahiran beliau adalah pada hari ke 9 dari bulan ini …”. [Lihat Majmu Al-Fatawa (7/357) karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin, kumpulan Fahd bin Nashir bin Ibrahim As-Sulaimany]
3. Maulid Nabi adalah tanggal 12 Rabi‘ul Awwal.
Muhammad bin Ishaq bin Yasar berkata sebagaimana dalam Sirah Nabawiyyah (1/58) karya Ibnu Hisyam Rahimahullahu, “Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam dilahirkan pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal, tahun Gajah”.
Akan tetapi pendapat ini dilemahkan oleh Syaikh Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Rahimahullahu. Dalam kitab beliau Mukhtashar Siratur Rasul, hal. 18, beliau menyatakan, “Beliau ‘Alaihis sholatu wassalam dilahirkan pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal. Qila (dikatakan) [Istilah qila (dikatakan) dengan bentuk kalimat pasif di kalangan para ulama biasa digunakan untuk melemahkan suatu pendapat, dan ini adalah perkara yang masyhur dan jelas bagi siapa saja yang menelaah kitab-kitab para ulama], “tanggal 10”, dan qila (dikatakan) : “tanggal 12”, pada hari Senin”.
Kami katakan: Berkaca pada semua perkataan dan pernyataan di atas, kita bisa lihat bahwa pendapat yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dilahirkan pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal sama sekali tidak memiliki landasan hujjah (argumen) yang kuat. Dan pendapat yang paling mendekati kebenaran -insya Allah- adalah yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dilahirkan pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal karena adanya riwayat dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im Rahimahullahu, kemudian setelahnya adalah pendapat yang dikuatkan oleh para ahli hadits yang menyatakan bahwa beliau dilahirkan pada tanggal 9 Rabi’ul Awwal, wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
Yang Pertama Kali Merayakannya
Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz At-Tuwaijiry Hafizhahullah berkata, “Yang pertama kali memunculkan bid’ah ini adalah Bani ‘Ubaid Al-Qaddah yang menamakan diri dengan Al-Fathimiyyun dan menyandarkan nasab mereka kepada keturunan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu‘anhu. Padahal sebenarnya, mereka adalah pendiri dakwah bathiniyah. Nenek moyang mereka Ibnu Daishan yang dikenal dengan nama Al-Qaddah, seorang budak milik Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq dan salah seorang pendiri mazhab bathiniah di Irak. Kemudian dia pergi ke negeri Maghrib (Maroko) mengaku sebagai keturunan ‘Uqail bin Abi Thalib. Tatkala kaum ekstrim Syi’ah-Rafidhah bergabung ke mazhabnya, diapun mengaku sebagai anak Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash-Shadiq dan mereka menerima hal tersebut. Padahal Muhammad bin Isma’il meninggal dalam keadaan tidak memiliki keturunan. Di antara yang mengikutinya adalah Hamdan Qirmith, yang (firqah) Al-Qaramithah disandarkan kepadanya.
Waktu terus berjalan hingga muncul dari kalangan mereka seseorang yang bernama Sa’id bin Al-Husain bin Ahmad bin Abdillah bin Maimun bin Daishan Al-Qaddah, yang kemudian mengubah nama dan nasabnya. Dia berkata kepada pengikutnya, “Saya adalah ‘Ubaidullah [Para pengikutnya kemudian dikenal dengan nama Al-‘Ubaidiyyun (pengikut Ubaidullah)] bin Al-Hasan bin Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash-Shadiq” sehingga meluaslah fitnah (malapetaka)nya di Maghrib” [Al-Bida’ Al-Hauliyyah hal. 137-139].
Berikut perkataan beberapa ulama dalam mengingkari penisbahan mereka kepada ahlil bait (keturunan Rasulullah):
Ibnu Khallikan Rahimahullahu berkata sebagaimana dalam Al-Bida’ Al-Hauliyyah, hal. 139, “Pakar ilmu nasab dari kalangan muhaqqiqin mengingkari pengakuan dia (Ubaidullah) kepada nasab (ahlil bait) tersebut”.
Ibnu Katsir Rahimahullahu berkata, “Sesungguhnya pemerintahan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun yang bernisbah kepada Ubaidillah bin Maimun Al-Qaddah, seorang Yahudi yang memerintah di Mesir dari tahun 357–567 H, mereka memunculkan banyak hari-hari raya. Di antaranya perayaan maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam” [Al-Bidayah 11/127].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (35/120), “Telah diketahui bahwa jumhur (kebanyakan) manusia mengingkari penisbahan mereka serta mereka (jumhur) menyebutkan bahwa mereka (Al-Ubaidiyyun) merupakan anak keturunan Majusi atau yahudi. Perkara ini masyhur berdasarkan persaksian para ulama dari berbagai kelompok ; Al-Hanafiah, Al-Malikiah, Asy-Syafi’iyyah, Al-Hanabilah, Ahlil Hadits, Ahlil kalam, pakar nasab, orang awwam dan selain mereka”.
Pada tempat lain (25/120-132) beliau menyebutkan beberapa ulama yang lain seperti:
Ibnul Atsir Al-Maushily dalam Tarikhnya, beliau menyebutkan sesuatu yang ditulis oleh para ulama kaum muslimin dalam tulisan-tulisan mereka langsung dalam mengkritik penisbahan mereka.
Ibnul Jauzy.
Abu Syamah dalam kitabnya Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits.
Al-Qadhy Abu Bakr Muhammad bin Ath-Thayyib Al-Baqillany dalam kitab beliau yang masyhur yang berjudul Kasyful Asrar wa Hatkul Astar. Dia menyebutkan bahwa mereka adalah dari keturunan Majusi.
Al-Qadhy Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husain Al-Farra`, seorang ulama’ Al-Hanabilah dalam kitab beliau Al-Mu’tamad.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazaly dalam kitab beliau yang berjudul Fadha`ilul Mustazhharah wa Fadha`ihul Bathiniyyah.
Al-Qadhy Abdul Jabbar bin Ahmad Al-Hamadzany dan yang semisal dengannya dari kalangan ahli kalam Mu’tazilah.
Kemudian, bid’ah perayaan hari lahir (ulang tahun) secara umum serta perayaan hari lahir Nabi (maulid) secara khusus, tidaklah muncul kecuali pada zaman Al-Ubaidiyyun pada tahun 362 H. Tidak ada seorangpun yang mendahului mereka dalam merayakan maulid ini.
Taqiyyuddin Al-Maqrizy Rahimahullahu berkata dalam Al-Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khuthath wal Atsar (1/490) di bawah judul ‘Penyebutan Hari-Hari yang Dijadikan Sebagai Hari Raya oleh Khilafah Al-Fathimiyyun…’, “Khilafah Al-Fathimiyyun sepanjang tahun memiliki beberapa hari raya dan hari peringatan, yaitu : Perayaan akhir tahun, perayaan awal tahun (tahun baru), hari ‘Asyura`, perayaan maulid (hari lahir) Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, maulid Ali, maulid Al-Hasan, maulid Al-Husain, maulid Fathimah -Radhiyallahu ‘anhum-, perayaan maulid (ulang tahun) khalifah saat itu, perayaan malam pertama dan pertengahan bulan Rajab, malam pertama serta pertengahan dari bulan Sya’ban, …”.
Juga telah berlalu keterangan dari Ibnu Katsir Rahimahullahu dalam masalah ini ketika beliau mengingkari penisbahan mereka (Al-Ubaidiyyun) kepada ahlil bait.
Maka hal ini merupakan persaksian yang sangat jelas dan gamblang dari beliau berdua -padahal Al-Maqrizy adalah termasuk para ulama yang menetapkan dan membela penisbahan mereka kepada keturunan Ali bin Abi Thalib- bahwa Al-Ubaidiyyun adalah sebab turunnya musibah ini (perayaan bid’ah maulid) atas kaum muslimin serta merekalah yang membuka pintu-pintu perayaan bid’ah dengan berbagai macam bentuknya.
Pendapat ini (bahwa yang memulai perayaan maulid adalah Al-Bathiniyyah) telah dikuatkan oleh sejumlah ulama belakangan. Berikut nama-nama beserta perkataan mereka:
Mufti Negeri Mesir, Syaikh Muhammad bin Bukhaith Al-Muthi’iy Rahimahullahu berkata, “Termasuk perkara-perkara yang baru muncul dan banyak pertanyaaan tentangnya adalah masalah perayaan-perayaan maulid (ulang tahun). Maka kami katakan bahwa sesungguhnya yang pertama kali memunculkannya di Qahirah (baca: Kairo) adalah khilafah Al-Fathimiyyun dan yang pertama kali dari kalangan mereka adalah orang yang bernama Al-Mu’izz Lidinillah …” [Ahsanul Kalam fii ma Tata’allaqu bis Sunnah wal Bid’ah minal Ahkam hal. 44].
Syaikh Muhammad Hamid Al-Faqy Rahimahullahu berkata dalam ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Syaikhul Islam Al-Iqtidho`, hal.294, “… bahkan tidak ada yang memunculkan hari-hari raya kesyirikan ini kecuali Al-‘Ubaidiyyun yang ummat telah bersepakat akan kemunafikan mereka dan bahwa mereka lebih kafir daripada Yahudi dan Nasrani dan bahwa mereka adalah musibah atas kaum muslimin. Kaum muslimin menyimpang dari jalan yang lurus lewat tangan-tangan, dan susupan-susupan mereka serta sesuatu yang mereka masukkan ke dalam ummat ini berupa racun-racun Shufiyah (tashowwuf) yang busuk”.
Syaikh Muqbil bin Hady Rahimahullahu, Syaikh Ahmad An-Najmy, dan Syaikh Shalih Al-Fauzan -hafizhahumallah- juga menetapkan hal yang sama sebagaimana akan datang perkataan mereka pada bab ketiga belas ketika menyebutkan perkataan para ulama tentang bid’ahnya perayaan maulid.
Syaikh ‘Uqail bin Muhammad bin Zaid Al-Maqthiry Al-Yamany berkata, “Yang pertama kali memunculkannya -yaitu perayaan maulid- di Kairo adalah Al-Mu’izz Lidinillah Al-Fathimy pada tahun 362 H dan terus berlangsung sampai dihapuskan oleh Al-Afdhal, Panglima pasukan perang Badrul Jamaly pada tahun 488 H pada zaman pemerintahan Al-Musta’ly Billah. Tatkala khilafah Al-Amir bi Ahkamillah bin Al-Musta’ly berkuasa pada tahun 495 H, perayaan maulidpun kembali dirayakan” [Al-Maurid fii Hukmil Ihtifal bil Maulid hal 8-9].
Nampak dari nukilan-nukilan tadi bahwa yang pertama kali mengerjakan amalan bid’ah ini (perayaan maulid) adalah Al-Ubaidiyyun alias Al-Fathimiyyun yang bermazhab bathiniyah. Mereka ini ingin mengubah agama kaum muslimin, memasukkan ke dalam agama Islam sesuatu yang bukan darinya, dan menjauhkan kaum muslimin dari agamanya yang sebenarnya. Karena menyibukkan manusia dengan melakukan berbagai amalan bid’ah adalah cara termudah untuk mematikan sunnah Nabi -Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- yang suci dan menjauhkan manusia dari syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala yang penuh dengan kemudahan.
Adapun yang dinukil dari sekelompok ulama seperti Ibnu Katsir, Ibnu Khallikan, dan As-Suyuthy dan diikuti oleh beberapa ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh dan Syaikh Hamud At-Tuwaijiry bahwa yang pertama kali merayakan maulid Nabi adalah raja Irbil Muzhaffaruddin Abu Sa’id Al-Kaukabury bin Abil Hasan Ali bin Bakatkin di akhir abad keenam atau awal abad ketujuh Hijriah, maka pernyataan mereka ini dibawa (baca: diarahkan maknanya) kepada perkataan Abu Syamah Abdurrahman bin Isma‘il Al-Maqdisy dalam kitabnya Al-Ba’its ‘ala Ingkaril Bida’ wal Hawadits hal. 31 ketika beliau berkata, “Sesungguhnya yang pertama kali merayakannya di Maushil adalah Syaikh Umar bin Muhammad Al-Mulla, salah seorang dari kalangan orang shalih yang terkenal [Amalan orang yang dianggap shalih ini menunjukkan kebodohan dia terhadap sunnah Nabinya -Shallallahu'alaihi wasallam-. Demikianlah keadaan kebanyakan bid’ah, syaithan masukkannya ke dalam Islam dengan perantaraan orang-orang yang dianggap shalih, akan tetapi bodoh dan berpaling dari mempelajari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, Wallahul Musta’an], yang kemudian diikuti (dalam merayakannya) oleh raja Irbil”.
Maka kita lihat, apa yang beliau sebutkan tentang orang yang pertama kali merayakannya hanya terbatas di negeri Maushil. Ini tidaklah menunjukkan bahwa yang pertama kali merayakannya secara mutlak adalah raja Irbil, karena telah berlalu bahwa yang pertama kali merayakannya adalah Al-Fathimiyyun dari kalangan Al-Bathiniyyah. Sehingga dengan demikian, pernyataan yang dinukil dari Ibnu Katsir dan yang mengikuti beliau ini tidaklah bertentangan dengan pembahasan yang telah kami terangkan di atas.
Termasuk perkara yang menguatkan bahwa Al-Ubaidiyyun Al-Fathimiyyun Al-Bathiniyyun telah mendahului raja Irbil dalam merayakan maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam adalah bahwa Al-Mu’izz Lidinillah yang bernama Ma’ad bin Abdillah Al-Fathimy datang ke Qahirah pada bulan Ramadhan tahun 362 H. Sedang tahun itu merupakan awal pemerintahan mereka (Al-Fathimiyyun) di Mesir. Khalifah yang terakhir dari mereka adalah Al-‘Adhid Abdullah bin Yusuf, meninggal pada tahun 567 H. Adapun Muzhaffaruddin -Raja Irbil-, maka dia dilahirkan pada tahun 549 H dan meninggal tahun 630 H. Jadi, ini merupakan bukti nyata bahwa raja Irbil telah didahului oleh Al-Ubaidiyyun dalam merayakan maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam sekitar 2 abad sebelumnya, wallahu A’lam.
Untuk lebih memperjelas masalah, berikut kami sebutkan beberapa pemikiran bathiniyah beserta nukilkan beberapa komentar ulama tentang kebejatan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin, yang mana pada gilirannya hal ini akan mengungkap hakekat dari perayaan maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang mereka munculkan:
Mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah sembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka melakukan tahrif ma’nawy (penyelewengan makna) terhadap ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala (memalingkan makna ayat dari makna sebenarnya yang zhahir kepada makna yang tidak masuk akal, yang mereka anggap sebagai batin ayat tersebut). Ini merupakan sejelek-jelek tahrif. Contohnya mereka menafsirkan ayat:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”. (QS. Al-Lahab : 1)
Mereka menafsirkan ‘dua tangan’ yaitu Abu Bakar dan Umar -Radhiyallahu ‘anhuma-.
Mereka berkeyakinan bahwa semua syari’at dan aturan dalam Islam memiliki zhahir dan batin. Yang zhahir -menurut mereka- adalah kaifiyat/cara yang diamalkan oleh kaum muslimin pada umumnya. Sedangkan yang batin adalah suatu cara yang hanya diketahui oleh kalangan mereka sendiri dan hanya boleh diamalkan oleh orang-orang khusus yaitu mereka. Contohnya shalat lima waktu; zhahirnya adalah dengan mengerjakan sholat, sedangkan batinnya -dan hanya ini yang mereka amalkan- adalah mengetahui rahasia-rahasia mazhab mereka. Jadi, siapa yang telah mengetahui rahasia-rahasia tersebut, maka dia sudah dianggap melaksanakan shalat walaupun tidak melakukan gerakan-gerakan shalat. Puasa batinnya adalah menyembunyikankan rahasia-rahasia kelompok mereka. Batinnya ibadah haji -menurut mereka- adalah menziarahi kuburan guru-guru mereka, dan seterusnya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, maka apakah masih ada ajaran agama yang tersisa dengan keyakinan mereka ini ?!.
Ibnu Katsir Rahimahullahu menyebutkan dalam Al-Bidayah wan Nihayah (11/286-287) bahwa pada tahun 402 H, sejumlah ulama, para hakim, orang-orang terpandang, orang-orang yang adil, orang-orang shalih, dan para ahli fiqh, mereka semua telah menulis sebuah tulisan yang berisi pencacatan dan celaan pada nasab keturunan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun. Mereka menyebutkan dalam tulisan tersebut beberapa pemikiran sesat mereka, di antaranya: Mereka telah menelantarkan aturan-aturan, menghalalkan kemaluan (zina), menghalalkan khamr, menumpahkan darah, mencerca para nabi, melaknat Salaf (para sahabat Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan pengikutnya) serta mereka mengaku bahwa guru-guru mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu pernah ditanya tentang mereka. Beliau menjawab bahwa mereka adalah termasuk manusia yang paling fasik dan yang paling kafir, dan bahwa siapa saja yang mempersaksikan keimanan dan ketakwaan bagi mereka serta (mempersaksikan) benarnya nasab keturunan mereka (kepada Ali bin Abi Thalib) maka sungguh dia telah mempersaksikan untuk mereka dengan perkara-perkara yang dia sendiri tidak mengetahuinya. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya”. (QS. Al-Isra`: 36)
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“… Kecuali orang-orang yang bersaksi dalam keadaan mereka mengetahui (apa yang mereka persaksikan)”. (QS. Az-Zukhruf : 86)” [Majmu’ Al-Fatawa (22/120)].
Dari seluruh keterangan-keterangan di atas, telah nampak jelas bagi setiap orang yang menginginkan kebenaran bahwa perayaan hari maulid (ulang tahun) secara umum dan maulid Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam secara khusus bukanlah termasuk bagian dari ajaran Islam sama sekali. Hal ini kita bisa tinjau dari tiga sisi:
Perayaan maulid Nabi setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal sama sekali tidak memiliki landasan sejarah yang kuat sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin -rahimahumallahu Ta’ala- [Telah berlalu pernyataan kedua ulama ini ketika membawakan pendapat-pendapat dan khilaf para ulama seputar tanggal kelahiran Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam]. Jadi, bagaimana bisa dikatakan perayaan ini memiliki landasan/asal dari syari’at Islam ?!
Perayaan Maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam ini tidaklah muncul kecuali setelah berakhirnya zaman-zaman keutamaan (zaman para sahabat, tabi’in, dan yang mengikuti mereka). Maulid tidaklah pernah dikerjakan oleh para sahabat, tidak pula para tabi’in, serta tidak juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sebagaimana yang akan kami pertegas pada bab ketiga belas dalam buku ini.
Sesungguhnya yang pertama kali memunculkan bid’ah maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam ini adalah suatu kaum yang disepakati oleh seluruh ulama Islam tentang kekafiran dan kemunafikan mereka. Mereka adalah Al-Bathiniyyah yang ingin mengubah agama kaum muslimin dan memasukkan ke dalamnya perkara-perkara yang tidak termasuk dalam agama mereka.
{Rujukan: Al-Qaulul Fashl fii Hukmil Ihtifal bi Maulidi Khairir Rasul hal. 64-72, Al-Maurid fii Hukmil Ihtifal bil Maulid hal. 7-9 dan Al-Bida’ Al-Hauliyah hal. 137-151}
[Dinukil dari Buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah, cetakan Maktabah al-Atsariyyah 2007]
https://aguezt123.blogspot.com/2015/02/pengertian-dan-sejarah-maulid-nabi.html
 

© 2011 welcome to my website

Template By Nano Yulianto - Design Google Blogs - PageNav Abu Farhan