Makna dan etika maulud Nabi SAW.
adalah Nabi akhir zaman. Penutup para Nabi. Khotamun Nabiyyin. Tidak
akan ada nabi yang akan diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalahNya
setelah Nabi Muhammad. Jabir pernah bertanya kepada Nabi Muhammad, ” Ya
Rosulallah, Demi Ayah dan Ibuku, sampaikan pada saya tentang sesuatu
yang pertama kali diciptakan oleh Allah SWT sebelum menciptkan yang
lain”. Nabi Menjawab, wahai Jabir, sesungguhnya Allah menciptkan Nur
Nabimu Muhammad SAW sebelum menciptakan segala sesuatu di alam semesta
ini. Dan segala sesuatu di alam semesta ini adalah dari cahaya Nabi
Muhammad SAW. Dan Nabi pernah bersabda, saya adalah Nabi yang diciptakan
pertama kali dan diutus paling akhir.
Pada tanggal 12 Robiul
Awwal 1423 H tepatnya hari ini tanggal 15 Februari 2011 kita
memperingati hari kelahiran beliau. Nabi Muhammad lahir di kota Mekkah
dan wafat di kota Madinah. Beliau lahir dengan penuh
keajaiban-keajaiban. Di antara yang saya ketahui ketika lahirnya Nabi
Muhammad seluruh pepohonan yang tidak pernah berbuah waktu itu langsung
berbuah, api yang tak pernah padam dan menjadi sesembahan warga Majusi,
ketika lahir nabi apa itu langsung padam. Ketika beliau lahir langsung
sujud kepada Allah SWT. Ada lagi ketika beliau lahir sang ibu tak
merasakan sakit sedikitpun. Tidak ada darah bercecer bekas melahirkan.
.Makna peringatan maulud Nabi Saw.
Peringatan
maulid adalah upaya mengenang hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tentu
saja tidak hanya mengingat hari lahir beliau. Tapi juga mengingat
jasa-jasa beliau yang telah menyebarkan agama Islam ke seluruh dunia
termasuk kepada kita. Ingat juga pada sifat-sifatnya yang luhur budi,
penyabar, rendah hati dan lain – lain. Sikapnya yang tegas menyebarkan
dakwah Islam patut kita teladani. Makna peringatan maulid adalah
menyegarkan kembali ingatan kita akan ajaran Nabi dan kita harus siap
untuk melaksanakannya.
Memperingati hari lahir tidak boleh hanya
sebagai kegiatan ritual semata. Tapi harus diaplikasikan atau diwujudkan
dalam aktivitas nyata kita di kehidupan sehari-hari. Jika ada yang
memperingati maulid dengan menyediakan makanan dan buah-buahan itu oke –
oke saja dan tentu saja halal. Yang paling penting adalah niatnya.
Karena segala sesuatu itu tergantung pada niat kita. Menyiapkan makanan
dan buah-buahan untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW tentu
sangat baik. Niatnya tentu saja adalah untuk memperbanyak sedekah kepada
orang yang kita undang untuk peringatan maulid. Jika kita mampu mengapa
kita tidak ajak orang berkumpul sambil membaca shalawat setelah itu
menghidangkan makanan ala kadarnya sesuai dengan kemampuan.
Etika perayaan nabi muhammad Saw
Raja
Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kaukabri ibn Zainuddin Ali bin Baktakin(l. 549
H. w.630 H.), menurut Imam Al-Suyuthi tercatat sebagai raja pertama yang
memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW ini dengan perayaan yang
meriah luar biasa. Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan
dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid ini.
Imam
Al-Hafidz Ibnu Wajih menyusun kitab maulid yang berjudul “Al-Tanwir fi
Maulidi al-Basyir al-Nadzir”. Konon kitab ini adalah kitab maulid
pertama yang disusun oleh ulama.
Di negeri kita tercinta ini,
meskipun tidak dapat disebut sebagai Negara Islam, banyak masyarakat
yang merayakannya dan telah menjadi tradisi mereka. Pemerintah pun telah
menjadikan peringatan ini salah satu agenda rutin dan acara kenegaraan
tahunan yang dihadiri oleh pejabat tinggi negara serta para duta besar
negara-negara sahabat berpenduduk Islam. Hari peringatan maulid Nabi
tekah telah disamakan dengan hari-hari besar keagamaan lainnya.
Pendapat Ulama dan Silang pendapat mengenai perayaan Maulid Nabi
Hukum
perayaan maulid telah menjadi topik perdebatan para ulama sejak lama
dalam sejarah Islam, yaitu antara kalangan yang memperbolehkan dan yang
melarangnya karena dianggap bid'ah. Hingga saat ini pun masalah hukum
maulid, masih menjadi topik hangat yang diperdebatkan kalangan muslim.
Yang ironis, di beberapa lapisan masyarakat muslim saat ini permasalahan
peringatan maulid sering dijadikan tema untuk berbeda pendapat yang
kurang sehat, dijadikan topik untuk saling menghujat, saling menuduh
sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang tragis, masalah peringatan maulid
nabi ini juga menimbulkan kekerasan sektarianisme antar pemeluk Islam
di beberapa tempat. Seperti yang terjadi di salah satu kota Pakistan
tahun 2006 lalu, peringatan maulid berakhir dengan banjir darah karena
dipasang bom oleh kalangan yang tidak menyukai maulid.
Untuk
lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini, ada baiknya kita
telaah sejarah pemikiran Islam tentang peringatan maulid ini dari
pendapat para ulama terdahulu. Tentu saja tulisan ini tidak memuat semua
pendapat ulama Islam, tetapi cukup ulama dominan yang dapat dijadikan
rujukan untuk membuat sebuah peta pemikiran.
Pendapat Ibnu Taymiyah:
Ibnu
Taymiyah dalam kitab Iqtidla'-us-Syirat al-Mustqim (2/83-85)
mengatakan: "Rasululullah s.a.w. telah melakukan kejadian-kejadian
penting dalam sejarah beliau, seperti khutbah-khutbah dan
perjanjian-perjanjian beliau pada hari Badar, Hunain, Khandaq, pembukaan
Makkah, Hijrah, Masuk Madinah. Tidak seharusnya hari-hari itu dijadikan
hari raya, karena yang melakukan seperti itu adalah umat Nasrani atau
Yahudi yang menjadikan semua kejadian Isa hari raya. Hari raya merupakan
bagian dari syariat, apa yang disyariatkan itulah yang diikuti, kalau
tidak maka telah membuat sesuatu yang baru dalam agama. Maka apa yang
dilakukan orang memperingati maulid, antara mengikuti tradisi Nasrani
yang memperingati kelahiran Isa, atau karena cinta Rasulullah. Allah
mungkin akan memberi pahala atas kecintaan dan ijtihad itu, tapi tidak
atas bid'ah dengan menjadikan maulid nabi sebagai hari raya. Orang-orang
salaf tidak melakukan itu padahal mereka lebih mencintai rasul".
Namun
dalam bagian lain di kitab tersebut, Ibnu Taymiyah
menambahkan:"Merayakan maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin
dalam setahun yang telah dilakukan oleh orang-orang, akan mendapatkan
pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SA.
Seperti yang telah saya jelaskan, terkadang sesuatu itu baik bagi satu
kalangan orang, padahal itu dianggap kurang baik oleh kalangan mu'min
yang ketat. Suatu hari pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang
tindakan salah seorang pejabat yang menyedekahkan uang 100 dinar untuk
membuat mushaf Qur'an, beliau menjawab:"Biarkan saja, itu cara terbaik
bagi dia untuk menyedekahkan emasnya". Padahal madzhab Imam Ahmad
mengatakan bahwa menghiasi Qur'an hukumnya makruh. Tujuan Imam Ahmad
adalah bahwa pekerjaan itu ada maslahah dan ada mafsadahnya pula, maka
dimakruhkan, akan tetapi apabila tidak diperbolehkan, mereka itu akan
membelanjakan uanngnya untuk kerusakan, seperti membeli buku porno dsb.
Pahamilah
dengan cerdas hakekat agama, lihatlah kemaslahatan dalam setiap
pekerjaan dan kerusakannya, sehingga kamu mengetahui tingkat kebaikan
dan keburukan, sehingga pada saat terdesak kamu bisa memilih mana yang
terpenting, inilah hakekat ilmu yang diajarkan Rasulullah. Membedakan
jenis kebaikan, jenis keburukan dan jenis dalil itu lebih mudah.
Sedangkan mengetahui tingkat kebaikan, tingkat keburukan dan tingkat
dalil itu pekerjaan para ulama.
Selanjutnya Ibnu Taymiyah menjelaskan tingkat amal solih itu ada tiga.
Pertama
Amal sholeh yang masyru' (diajarkan) dan didalamnya tidak ada kemaruhan
sedikitpun. Inilah sunnah murni dan hakiki yang wajib dipelajari dan
diajarkan dan inilah amalan orang solih terdahulu dari zaman muhajirin
dan anshor dan pengikutnya.
Kedua:
Amal solih dari satu sisi, atau sebagian besar sisinya berisi amal
solih seperti tujuannya misalnya, atau mungkin amal itu mengandung
pekerjaan baik. Amalan-amalan ini banyak sekali ditemukan pada
orang-orang yang mengaku golongan agama dan ibadah dan dari orang-orang
awam juga. Mereka itu lebih baik dari orang yang sama sekali tidak
melakukan amal solih, lebih baik juga daripada orang yang tidak beramal
sama sekali dan lebih baik dari orang yang amalannya dosa seperti kafir,
dusta, hianat, dan bodoh. Orang yang beribadah dengan ibadah yang
mengandung larangan seperti berpuasa lebih sehari tanpa buka (wisal),
meninggalkan kenikmatan tertentu (mubah yang tidak dilarang), atau
menghidupkan malam tertentu yang tidak perlu dikhususkan seperti malam
pertama bulan Rajab, terkadang mereka itu lebih baik dari pada orang
pengangguran yang malas beribadah dan melakukan ketaatan agama. Bahkan
banyak orang yang membenci amalan-amalan seperti ini, ternyata mereka
itu pelit dalam melakukan ibadah, dalam mengamalkan ilmu, beramal solih,
tidak menyukai amalan dan tidak simpatik kepadanya, tetapi tidak juga
mengantarkannya kepada kebaikan, misalnya menggunakan kemampuannya untuk
kebaikan. Mereka ini tingkah lakunya meninggalkan hal yang masyru'
(dianjurkan agama) dan yang tidak masyru' (yang tidak dianjurkan agama),
akan tetapi perkatannya menentang yang tidak masyru' (yang tidak
diajarkan agama).
Ketiga: Amalan
yang sama sekali tidak mengandung kebaikan, karena meninggalkan
kebaikan atau mengandung hal yang dilarang agama. (ini hukumnya jelas).
Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: "Bid'ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid Rasulullah".
Pendapat
Abu Shamah (guru Imam Nawawi):"Termasuk yang hal baru yang baik
dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan
pada hari kelahiran Rasulullah s.a.w. dengan memberikan sedekah dan
kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua
berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah
dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur
kepada Allah atas diutusnya Rasulullah s.a.w. kepada seluruh alam
semesta".
Al-Hafidz al-Iraqi dalam kitab
Syarh Mawahib Ladunniyah mengatakan:"Melakukan perayaan, memberi makan
orang disunnahkan tiap waktu, apalagi kalau itu disertai dengan rasa
gembira dan senang dengan kahadiran Rasulullah s.a.w. pada hari dan
bulan itu. Tidaklah sesuatu yang bid'ah selalu makruh dan dilarang,
banyak sekali bid'ah yang disunnahkan dan bahkan diwajibkan".
Imam
Suyuti berkata: "Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu
manusia berkumpul, membaca al-Qur'an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW
sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan
makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu
yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid'ah hasanah. Orang
yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW,
menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad SAW
yang mulia".[2]
Syeh Azhar Husnain Muhammad Makhluf
mengatakan:"Menghidupkan malam maulid nabi dan malam-malam bulan Rabiul
Awal ini adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah, memperbanyak
syukur dengan nikmat-nikmat yang diturunkan termasuk nikmat
dilahirkannya Rasulullah s.a.w. di alam dunia ini. Memperingatinya
sebaiknya dengan cara yang santun dan khusu' dan menjauhi hal-hal yang
dilarang agama seperti amalan-amalan bid'ah dan kemungkaran. Dan
termasuk cara bersyukur adalah menyantuni orang-orang susah, menjalin
silaturrahmi. Cara itu meskipun tidak dilakukan pada zaman Rasulullah
s.a.w. dan tidak juga pada masa salaf terdahulu namun baik untuk
dilakukan termasuk sunnah hasanah".
Seorang ulama Turkmenistan
Mubasshir al-Thirazi mengatakan:"Mengadakan perayaan maulid nabi
Muhammad s.a.w. saat ini bisa jadi merupakan kewajiban yang harus kita
laksanakan, untuk mengkonter perayaan-perayaan kotor yang sekarang ini
sangat banyak kita temukan di masyarakat"
Dalil-dalil yang memperbolehkan melakukan perayaan Maulid Nabi s.a.w.
1. Anjuran bergembira atas rahmat dan karunia Allah kepada kita. Allah SWT berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah:
"Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa
yang mereka kumpulkan. QS.Yunus:58.
2. Rasulullah SAW sendiri mensyukuri atas kelahirannya. Dalam sebuah Hadits dinyatakan:
عَنْ
أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ
فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم
"Dari
Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya
mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku
dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku". (H.R. Muslim, Abud Dawud,
Tirmidzi, Nasa'I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu
Abi Syaibah dan Baghawi).
3. Diriwayatkan dari Imam Bukhori bahwa
Abu Lahab setiap hari senin diringankan siksanya dengan sebab
memerdekakan budak Tsuwaybah sebagai ungkapan kegembiraannya atas
kelahiran Rasulullah SAW. Jika Abu Lahab yang non-muslim dan al-Qur'an
jelas mencelanya, diringankan siksanya lantaran ungkapan kegembiraan
atas kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan orang yang beragama
Islam yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW.
Kesimpulan Hukum Maulid
Melihat
dari pendapat-pendapat ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendapat-pendapat ulama terdahulu seputar peringatan maulid adalah
sebagai berikut:
1. Malarang maulid karena itu termasuk bid'ah dan tidak pernah dilakukan pada zaman ulama solih pertama Islam.
2.
Memperbolehkan perayaan maulid Nabi, dengan syarat diisi dengan
amalan-amalan yang baik, bermanfaat dan berguna bagi masyarakat. Ini
merupakan ekspresi syukur terhadap karunia Allah yang paling besar,
yaitu kelahiran Nabi Muhammad dan ekspresi kecintaan kepada beliau.
3.
Menganjurkan maulid, karena itu merupakan tradisi baik yang telah
dilakukan sebagian ulama terdahulu dan untuk mengkonter
perayaan-perayaan lain yang tidak Islami.
Jadi masalah maulid
ini seperti beberapa masalah agama lainnya, merupakan masalah
khilafiyah, yang diperdebatkan hukumnya oleh para ulama sejak dulu.
Sebaiknya umat Islam melihatnya dengan sikap toleransi dan saling
menghargi mengenai perbedaan pendapat ini. Tidak selayaknya mengklaim
paling benar dan tidak selayaknya menuduh salah lainnya.
Bahkan
kalau dicermati, sebenarnya pendapat yang melarang dan yang
memperbolehkan perayaan maulid tujuannya adalah sama, yaitu sama-sama
membela kecintaan mereka kepada Rasulullah s.a.w. Maka sangat
disayangkan kalau umat Islam yang sama-sama dengan dalih mencintai
Rasulullah s.a.w. tetapi saling hujat dan bahkan saling mealih mencintai
Rasulullah s.a.w. tetapi saling hujat dan bahkan saling menyakiti.